Review Film Pesugihan Sate Gagak (2025) : Horor Komedi Unik dengan Humor Vulgar yang Kontroversial


Sejak awal, Pesugihan Sate Gagak memang tidak pernah berniat menjadi film horor yang “sopan”. Film ini datang dengan satu niat utama: menghibur lewat humor absurd, vulgar, dan tanpa rem. Vibenya sangat terasa seperti komedi khas GJLS, hanya saja dibalut dalam versi Jawa yang jauh lebih eksplisit dan blak-blakan.

Karena itu, penting untuk memberi peringatan sejak awal. Film ini tidak untuk semua orang. Jika kamu risih dengan humor seksual, body shaming, atau komedi vulgar khas obrolan tongkrongan, sebaiknya film ini dilewatkan saja. Tapi kalau kamu tipe penonton yang bisa menerima segala bentuk komedi tanpa banyak mengernyit, film ini masih sangat layak masuk daftar tontonan.

Premis: Masalah Serius, Solusi Paling Gila

Secara ide, Pesugihan Sate Gagak punya premis yang sebenarnya kuat dan dekat dengan realitas. Cerita berpusat pada tiga sahabat—Anto, Dimas, dan Indra—yang sama-sama terjepit masalah ekonomi.

Ada yang ingin menikah tapi terbentur tuntutan keluarga.
Ada yang ingin membantu orang tua membuka usaha.
Ada pula yang masih terjebak trauma masa lalu dan butuh uang cepat.

Semua masalah itu terasa sangat membumi dan mudah direlasikan dengan kehidupan sehari-hari. Namun, alih-alih mencari jalan keluar secara normal, mereka justru memilih jalan pintas yang paling nekat: melakukan ritual Pesugihan Sate Gagak. Yang bikin film ini langsung naik level kegilaannya adalah syarat ritual tersebut—ketiganya harus telanjang bulat sepanjang prosesnya.

Ini ide yang sangat berani untuk ukuran film bioskop arus utama Indonesia, apalagi bukan rilisan OTT. Dari sini saja sebenarnya film ini sudah menjanjikan pengalaman yang tidak biasa.

Naskah Tipis, Ide Besar yang Kurang Tergarap

Sayangnya, ide segila itu tidak ditopang oleh naskah yang sama kuatnya. Script film ini terasa tipis untuk ukuran konflik yang sebenarnya kompleks.

Banyak potensi yang seharusnya bisa digali lebih dalam—soal tekanan ekonomi, keputusasaan hidup, tuntutan adat, hingga soal mahar pernikahan—namun semuanya hanya disentuh di permukaan. Film tampak kebingungan menentukan mau serius atau mau sepenuhnya bercanda. Baru saja menyentuh isu yang cukup emosional, tiba-tiba langsung dipatahkan dengan lelucon vulgar.

Akibatnya, pesan-pesan yang sebenarnya penting jadi tidak pernah benar-benar sampai dengan utuh. Terlalu banyak isu yang ingin dibahas dalam durasi yang terbatas, sehingga tidak ada yang benar-benar berkembang dengan tuntas. Di akhir, film terasa lebih fokus mengejar tawa daripada makna.

Chemistry Tiga Aktor: Nyawa Utama Film

Di luar persoalan naskah, kekuatan terbesar film ini jelas terletak pada chemistry tiga pemain utamanya: Ardit, Benny, dan Yono. Mereka adalah jantung yang membuat film ini tetap hidup.

Ardit tampil sebagai sosok yang paling “waras” di tengah kekacauan.
Yono menjadi sumber kekonyolan dengan reaksi-reaksi tak terduga.
Benny hadir dengan kekuatan fisik, gestur, dan mimik yang sudah otomatis mengundang tawa bahkan tanpa dialog.

Interaksi ketiganya terasa natural, seperti sahabat sungguhan. Timing komedinya matang, improvisasi terasa mengalir, dan ritme adegan mereka enak diikuti. Bahkan pada adegan pertengkaran yang diambil dengan teknik one-take, ketegangan dan emosinya terasa rapi dan surprisingly intens. Jujur saja, tanpa mereka bertiga, film ini mungkin tidak akan sehidup ini.

Komedi “Bugil”: Berani, Tapi Melelahkan

Elemen paling kontroversial tentu saja adalah keputusan menampilkan ketiganya dalam kondisi telanjang hampir sepanjang film.

Di satu sisi, ini langkah yang sangat berani dan sukses membangun absurditas yang bagi sebagian penonton justru terasa segar dan mengocok perut. Banyak momen yang memang berhasil memancing tawa lepas karena situasinya benar-benar tidak lazim.

Namun di sisi lain, lelucon yang terlalu sering berputar di area selangkangan dan gestur vulgar lama-kelamaan terasa repetitif dan melelahkan. Humor model begini sifatnya sangat hit or miss—bagi yang selaras, akan tertawa bebas; bagi yang tidak, justru bisa merasa terganggu dan kehilangan fokus terhadap ceritanya.

Aspek Teknis dan Unsur Horor

Secara teknis, film ini patut diapresiasi. Permainan kamera cukup variatif—mulai dari slow motion, zoom in-out, hingga penggunaan POV ala action cam—membuat visualnya terasa dinamis dan tidak membosankan. Terlihat jelas bahwa film ini digarap dengan niat yang serius secara teknis.

Untuk urusan horor, penampakan makhluk-makhluk seperti Genderuwo, Kuntilanak, hingga Pocong tampil cukup efektif dan mampu membangun atmosfer yang lumayan menyeramkan. Sayangnya, atmosfer seram itu sering langsung runtuh karena disela oleh jokes bugil yang muncul tiba-tiba. Perpindahan tone antara horor ke komedi terasa terlalu ekstrem dan kadang tidak mulus.

***

Pesugihan Sate Gagak adalah film horor komedi yang absurd, nyeleneh, berani, dan sangat segmented. Ia punya premis yang segar, visual yang cukup kreatif, penggunaan bahasa Jawa yang natural, serta chemistry aktor yang solid. Namun di saat yang sama, film ini juga memiliki naskah yang tipis, penyampaian pesan yang tidak konsisten, dan humor yang sangat bergantung pada selera masing-masing penonton.

Jika kamu masuk bioskop dengan ekspektasi rendah, hanya ingin duduk santai, tertawa tanpa perlu berpikir panjang, film ini bisa jadi hiburan yang cukup menyenangkan. Tapi jika kamu berharap horor yang mencekam atau cerita yang dalam dan menohok, film ini kemungkinan besar akan terasa hampa.

Skor akhir: 8/10

Unik, nekat, menghibur bagi yang cocok—namun sangat bergantung pada selera humormu sendiri.

Komentar