PANGKU (2025): Film Sunyi yang Justru Paling Lantang Mengguncang Hati


Film Pangku adalah drama sosial yang bercerita tentang Sartika (Claresta Taufan), seorang perempuan muda yang terjerat dalam praktik "kopi pangku" di jalur Pantura karena tidak punya pilihan lain untuk bertahan hidup setelah ditinggalkan kekasih saat hamil. Dia awalnya ditolong oleh Bu Maya (Christine Hakim) yang punya warung, tetapi kemudian dipaksa bekerja di sana untuk melayani pelanggan sambil duduk di pangkuan mereka. Dalam kesulitannya, Sartika bertemu Hadi (Fedi Nuril), seorang sopir truk yang tulus dan memberi harapan baru dalam hidupnya, meski Sartika terikat oleh rasa utang budi dan kesulitan yang dihadapi. 

  • Sutradara: Film ini menjadi debut penyutradaraan Reza Rahadian.
  • Karakter utama: Sartika, seorang perempuan yang berusaha memberi kehidupan lebih baik bagi anaknya, dan Bu Maya, pemilik warung dengan maksud tersembunyi.
  • Latar: Jalur Pantura, khususnya daerah Eretan Kulon.
  • Inti cerita: Perjuangan Sartika sebagai ibu tunggal yang harus berjuang demi kelangsungan hidupnya, dengan pesan sosial tentang eksploitasi perempuan dan pilihan-pilihan sulit yang dihadapi.
  • Pemain utama: Claresta Taufan, Christine Hakim, dan Fedi Nuri

Film ini megah dalam kesederhanaannya. Ia tidak berusaha membangun dramatisasi berlebihan; justru dari kejujuran itulah maknanya terasa sangat luas. Setiap gambar menyimpan cerita, setiap detail kecil merekam kehidupan yang sebenarnya.

Sinematografi & Visual yang Puitis

Pangku menampilkan realitas apa adanya; pasar ikan yang riuh, Pantura dengan beton panjang penahan gelombang, lahan proyek yang hancur, langit senja yang temaram, kapal nelayan yang lunglai di muara. Bahkan suara cicak dan gemuruh hiburan murah malam hari menjadi elemen yang menggiring penonton masuk ke dunia para tokohnya.

Tak ada visual yang mubazir. Kalender usang di dinding kedai. Gulungan seng bekas.Foto pernikahan dalam bingkai murahan. Kerak hitam di pintu gerobak mie ayam. Jalan yang belum diaspal. Ceret penyok. Kopi sachet. Sofa bobrok. Tidak berlebihan kalau saya bilang semua seperti puisi yang lahir dari benda-benda sehari-hari itu.

**

Meski bercerita tentang kemiskinan, film ini diracik dengan rapi dan presisi kelas internasional. Wardrobe sangat sesuai konteks dan tidak terasa “dalam dunia film”—tapi juga tidak asal. Make up natural namun teliti, memperlihatkan keringat, debu, lelah, dan hidup yang keras sampai rasanya kitab bisa merasakan panas, bau, keringat lengket dan suasana pasar ikan atau pinggiran pantura.

Editingnya sungguh halus, ritmenya konsisten, dan sinematografinya… sekelas drama Korea yang premium. Set lokasi terasa autentik namun artistik, menghadirkan atmosfer yang tertata tanpa kehilangan kejujuran suasananya.

Akting & Mikro Ekspresi: Bagian Paling Mengesankan

Ini bagian yang benar-benar mencengangkan. Film ini minim dialog, tetapi para aktornya berbicara dengan cara lain: dengan napas, tatapan, perubahan kecil pada bibir dan mata. Mikro-ekspresinya gila, begitu presisi dan jujur sampai-sampai penonton tak perlu kata-kata untuk mengerti perasaan mereka. Ketegangan, putus asa, harapan yang menipis—semua terpancar dari cara mereka melihat, menghela napas, atau hanya menundukkan kepala.

Jose Rizal Manua yang berperan sebagai suami Maya (Ibu Christin Hakim) bahkan tidak mengatakan sepatah kata pun. Tapi diamnya lebih keras daripada dialog mana pun. Seolah ia ingin berkata "Hidup sudah sedemikian keras menderaku. Mau apa lagi yang bisa aku jelaskan?"

Satu dialog dari Christine Hakim memaku seluruh momen:
“Dia sudah nggak bisa apa-apa kok…” Sesingkat itu, tetapi terasa seperti hantaman yang nyessss.

Isu Sosial: Mengalir, Tidak Menggurui

Pangku berhasil memotret kondisi rakyat miskin yang menjadi korban perubahan ekonomi—terutama mereka yang dihantam krisis dan pembangunan yang tidak memihak. Isu TKW dihadirkan lugas namun elegan, dengan akting Happy Salma yang sangat meyakinkan meski hanya muncul sebentar. Begitu juga isu pendidikan: anak-anak yang ingin belajar tetapi terpaksa putus sekolah karena tetek bengek birokrasi yang ribet.

Film ini memiliki watak dokumenter yang kuat, tetapi tidak pernah menjadi film yang cerewet atau menghakimi. Ia tetap fokus pada cerita, membiarkan penonton menyimpulkan sendiri.

Pangku adalah film yang bercerita dengan bahasa yang sunyi, perlahan, dan lembut—tetapi menyisakan bekas yang sangat dalam. Ia mengajak kita melihat kenyataan yang mungkin sudah sering kita abaikan: bahwa ada banyak hidup yang berjalan lambat, penuh perjuangan, dan tetap bertahan dalam diam. Terakhir saya nonton film yang sampai hari ini masih pengen nangis tiap ingat film itu Adalah film JAMAL (2020) karya sineas Lombok Herry Emetz yang pernah saya bahas disini : Review Film JAMAL. Lalu film ini Adalah film berikutnya.

***

Jadi, Kalau kamu ingin menonton film yang jujur, berkelas, dan meninggalkan renungan lama setelah kredit berakhir — Pangku adalah film yang wajib kamu saksikan.
Sudah nonton? Ceritakan kesanmu. Kalau belum, kamu harus jadikan ini film berikutnya di daftar tontonmu.

Rate : 4,8/5

Film ini puitis, sunyi yang memotret kerasnya hidup rakyat kecil lewat visual kelas internasional dan mikro-ekspresi para pemain yang lebih tajam dari dialog mana pun.


Komentar