Review Film Dopamin (2025): Ketika Rezeki dan Sial Datang Bersamaan


Film ini berangkat dari premis yang sebenarnya biasa saja: pasangan muda yang hidupnya sedang berat, tiba-tiba mendadak berhadapan dengan koper berisi uang yang jumlahnya cukup untuk menyelamatkan sekaligus menghancurkan hidup mereka. Tapi yang membuat Dopamin berbeda adalah cara bercerita dan treatment-nya yang luar biasa intens. Dari menit awal sampai akhir, film ini seperti menarik kerah baju penonton dan bilang, “jangan berkedip”.

Intensitas yang Tak Memberi Napas

Teddy Soeriaatmadja—yang memang dikenal jago membangun tensi—betul-betul memeras adrenalin. Hampir tidak ada momen yang benar-benar tenang. Bahkan adegan sehari-hari pun terasa seperti menunggu sesuatu yang buruk muncul dari balik pintu.

Kamu tahu film sedang bekerja dengan baik ketika penonton: ikut menahan napas, ikut tegang, ikut was-was setiap ada suara kecil, dan… tetap takut kalau tiba-tiba muncul plot twist lagi di akhir film.

Dopamin punya itu.

Dan bahkan ketika sudah masuk ujung cerita, kita masih belum bisa menebak apa yang benar-benar terjadi. Film ini terasa seperti “ancaman tak terlihat” yang siap muncul kapan saja.

Visual yang Cakep — dan Mengancam

Secara visual, Dopamin tampil sangat rapi, sangat cantik, dan sangat sinematis. Warna, pencahayaan, blocking pemain—semuanya diramu untuk menambah rasa mencekam. Ada kehangatan yang palsu, ada ruang sempit yang dibuat terasa lebih sempit, dan ada kedekatan kamera yang membuat kita tak bisa lari dari emosi karakter.

Dan bicara soal visual… Angga Yunanda dan Shenina Cinnamon tampil menawan sekaligus kesan rapuhnya tersirat sekali. Kamera sering menangkap wajah mereka sangat dekat—dan di titik itu, emosi mereka benar-benar terasa menonjok.

Tone film yang lembut namun muram membuat keduanya tampak “realistis”, capek, dan manusiawi. Hasilnya? Close-up-nya intimidatif. Serius, ini tipe shot yang bikin penonton merasa seperti sedang ditatap balik oleh karakter.

Aktor Pendukung yang Nyalanya Sama Terang

Yang menarik dari Dopamin adalah: tidak ada karakter yang terasa “lewat begitu saja”. Semua pemain tampil bold:

πŸŽ₯ Anjasmara yang tampil tenang namun misterius.

πŸŽ₯ Teuku Rifnu Wikana dengan gestur khasnya yang selalu memancing curiga.

πŸŽ₯ Kiki Narendra sebagai polisi yang auranya bikin kita tidak nyaman—tapi tetap penasaran.

πŸŽ₯ Andri Mashadi yang memberi lapisan baru pada konflik.

Mereka bukan sekadar pengisi cerita, tetapi benar-benar menjadi bagian dari mekanisme ketegangan film.

Dialog yang Tajam dan Layak Dipetik

Dialog di Dopamin itu seperti:  pendek, berisi,  dan jika kamu lengah sedikit, kamu bisa kehilangan petunjuk penting.

Beberapa dialognya cukup “nendang” sampai cocok banget dijadikan kutipan reflektif tentang moral, tekanan hidup, dan keputusan yang sulit. Tidak banyak film thriller Indonesia yang punya gaya dialog seperti ini.

Ketika Rezeki dan Sial Datang Bersamaan

Dopamin memperlihatkan paradoks yang sangat relevan: bahwa terkadang hidup memberikan rezeki dan kesialan di waktu yang sama. Dan ketika itu terjadi, manusia menunjukkan sisi aslinya—baik yang disembunyikan, maupun yang tidak pernah diakui. 

Film ini menawarkan: ketegangan yang nyaris tanpa jeda, plot twist yang hadir tanpa perlu dramatisasi berlebihan, visual yang cantik tapi mengancam, dan karakter yang hidup, gelap, dan terasa nyata. Dan jujur saja… Sampai kredit muncul, rasa takut akan “plot twist baru” itu masih terasa menempel.

Film ini Intens, bold, kuat, dan meninggalkan rasa tidak nyaman yang justru membuatnya memorable. Rating: 4,5 / 5

Komentar