The Anxious Generation — Jonathan Haidt : Masa kecil itu seharusnya penuh jejak tanah, bukan jejak digital.


Masa kecil itu seharusnya penuh jejak tanah, bukan jejak digital.

Kalau kamu orang tua, guru, atau sering dibuat bingung oleh betapa cepatnya anak sekarang menyatu dengan gadget—buku ini seperti tamparan halus (atau keras) yang bilang: “Hei, ada yang tidak beres dengan cara kita membesarkan anak di era digital.”

The Anxious Generation karya Jonathan Haidt banyak masuk daftar buku terbaik tahun 2024. Tidak heran. Buku ini bicara jujur soal sesuatu yang kita semua sebenarnya tahu, tapi sering pura-pura tidak lihat: anak-anak tumbuh dengan layar, bukan dengan pengalaman.

Kenapa Buku Ini Penting?

Haidt membawa kita melihat cermin besar: kita terlalu protektif di dunia nyata, tapi terlalu santai di dunia digital.

Di luar rumah, kita membatasi anak dengan banyak larangan:

"Jangan main jauh-jauh."
"Bahaya nanti jatuh."

Tapi waktu anak menangis, rewel, atau bosan, respon tercepat kita adalah:

“Udah, main HP aja dulu.”

Tanpa sadar, kita sedang mengajari anak mencari kenyamanan instan dari layar, bukan dari interaksi dan tantangan nyata. Di dunia digital, anak dengan mudah mendapat validasi berupa like, komen, dan views. Tapi di dunia nyata, ia minim kesempatan jatuh-bangun yang membentuk karakter.  Itu sebabnya buku ini penting—karena Haidt tidak sekadar mengkritik cara kita mengasuh anak, tapi menawarkan jalan keluar.

Dunia Nyata vs. Dunia Digital: Pengalaman yang Tidak Sama

Haidt menjelaskan bahwa dunia nyata dan dunia digital bukan hanya dua lokasi berbeda—tapi dua ekosistem berbeda. Di dunia nyata, tubuh bergerak. Ada rasa takut ketika hampir jatuh, ada rasa bangga saat berhasil mengayuh sepeda tanpa jatuh. Ada emosi yang terasa langsung, serta konsekuensi interaksi sosial yang nyata.

Sebaliknya, dunia digital tidak melibatkan tubuh. Semua terjadi lewat layar. Tidak ada risiko, tidak ada sensasi motorik, dan tidak ada pengalaman emosi secara penuh.

Di dunia nyata, ketika anak bicara dengan temannya, ia belajar membaca ekspresi wajah, nada suara, dan situasi sosial. Di dunia digital? Komunikasi bisa ditinggalkan kapan saja. Tidak ada rasa sungkan ketika meninggalkan grup, tidak ada tanggung jawab emosional.

Dunia nyata membangun empati.  Dunia digital membangun jarak.

Ketika Media Sosial Menikahi Smartphone

Menurut Haidt, titik balik krisis ini terjadi ketika kamera depan bertemu dengan media sosial—sekitar 2010–2015. Setelah ada Instagram, Snapchat, dan TikTok, fokus anak bukan lagi untuk merasakan sesuatu, tapi menunjukkan sesuatu ke orang lain.

Ritme harian anak berubah menjadi:

unggah → lihat like → bandingkan → ulangi

Masalahnya, otak manusia tidak dirancang untuk hidup di bawah sorotan. Tidak heran sekarang kita melihat anak (bahkan orang dewasa) mulai sulit fokus secara mendalam. Membaca buku terasa membosankan. Mendengarkan penjelasan lima menit saja terasa lama. Scrolling cepat mengubah cara otak bekerja.

Ketika Permainan Bebas Menghilang

Dulu, kita sering main sampai suara magrib terdengar. Lari-lari, jatuh, bangun lagi. Sekarang? Anak lebih sering berada di dalam rumah, duduk diam, ditemani layar.

Padahal permainan bebas—yang tidak diatur orang dewasa—itu penting. Di situ anak belajar banyak hal yang tidak bisa diajarkan oleh aplikasi atau sekolah: Belajar mengambil risiko, Belajar menyelesaikan masalah, Belajar menghadapi konflik sosial, Belajar mengatur emosi

Haidt menyebut budaya orang tua modern sebagai “safetism”—ide bahwa anak harus selalu aman. Bahwa jatuh itu berbahaya. Bahwa risiko itu harus dihindari.

Masalahnya, ketika anak tidak pernah mengalami “kegagalan kecil”, ia tidak siap menghadapi kegagalan besar saat dewasa.

Anak Perempuan vs. Anak Laki-Laki: Dampaknya Berbeda

Bagian ini mengejutkan. Anak perempuan lebih rentan terhadap kecemasan karena media sosial mendorong budaya perbandingan tanpa akhir.

“Kok dia lebih cantik?”
“Kenapa fotoku sedikit yang like?”

Validasi sosial jadi candu. Anak laki-laki lebih rentan pada game. Mereka larut dalam dunia yang memberi pencapaian instan. Level naik, misi selesai—semua terasa jelas dan rewarding. Namun harga yang dibayar: motivasi di dunia nyata menurun. Dua gender, dua arena, satu masalah: dunia digital menggerus kemampuan hidup di dunia nyata.

Lalu, Solusinya Apa?

Haidt bilang: Ini bukan hanya tugas orang tua. Solusi harus dilakukan bersama:

  • Orang tua: buat aturan di rumah dan prioritaskan pengalaman nyata.
  • Sekolah: buat lingkungan belajar bebas gawai.
  • Pemerintah: atur batas usia penggunaan media sosial.
  • Platform digital: harus lebih bertanggung jawab pada desain aplikasinya.

Rekomendasi Haidt yang cukup tegas:

  • Anak SD tidak perlu smartphone internet.
  • Ponsel analog cukup untuk komunikasi.
  • Media sosial idealnya baru boleh ketika anak sudah punya kemampuan regulasi diri.

Saat Layar Menggeser Keheningan

Ada satu bagian yang sangat membekas: spiritualitas. Kehidupan digital penuh kebisingan.
Ritual keheningan—berdoa, merenung, bersyukur—semakin hilang. Kita lebih sering menunduk ke layar daripada menengadah mencari ketenangan. Kehidupan batin membutuhkan ruang sepi. Layar menawarkan keramaian yang lelah.

Buku ini seperti alarm yang berbunyi: jika kita tidak berubah sekarang, kita sedang mencetak generasi cemas, bukan generasi emas. Solusinya tidak rumit, hanya butuh niat: kurangi screen time, buat zona bebas gawai, normalisasi permainan bebas di luar rumah.

Masa kecil terlalu singkat untuk dihabiskan dengan scrolling.

Rating pribadi: 9,5/10
— Sangat direkomendasikan untuk orang tua, guru, dan siapa pun yang peduli masa depan anak.

 

Komentar