Buku Yang Galau Yang Meracau adalah sebuah karya yang sulit diklasifikasikan. Ia bukan sekadar novel, bukan pula kumpulan puisi, melainkan sebuah catatan reflektif yang dibungkus dalam bentuk dialog metaforis antara manusia dan setan.
Tokoh sentralnya bernama Rayya, seorang manusia yang sedang bergumul dengan banyak pertanyaan hidup, yang kemudian “berdialog” dengan sosok bernama Tuan Setan. Yang menarik, setan dalam buku ini bukan makhluk jahat yang menakutkan, melainkan sosok yang juga sedang galau dan bingung tentang peran dan keberadaannya.
Dialog mereka menyentuh hal-hal mendalam: tentang iman, eksistensi, kesepian, pencarian Tuhan, dan absurditas hidup. Dalam prosesnya, pembaca diajak menyelami perasaan, logika, dan batin yang penuh luka—bukan hanya dari sisi manusia, tapi juga dari sudut pandang “musuh abadi” manusia yang ternyata juga merasa kehilangan arah.
Fahd Djibran—yang kini lebih dikenal dengan nama pena Fahn Pahdepie—adalah penulis produktif yang banyak dikenal karena karya-karya reflektif dan bernuansa spiritual, eksistensial, dan kadang penuh teka-teki. Ia juga dikenal lewat novel-novel seperti Arah Langkah dan Sepasang Kekasih yang Belum Bertemu.
Transformasi nama penanya juga mencerminkan perjalanan batin dan spiritual yang panjang, sesuatu yang juga tercermin dalam banyak tulisannya. Karya-karyanya banyak bicara tentang pencarian jati diri, relasi manusia dengan Tuhan, dan kegelisahan batin anak zaman.
Kelebihan Buku "Yang Galau Yang Meracau"
π Bahasa yang Puitis dan Filosofis
Gaya bahasa Fahd Djibran dalam buku ini bukan bahasa sehari-hari yang ringan. Ia memakai diksi yang dalam, kadang metaforis, kadang simbolis. Hal ini membuat tiap kalimat terasa seperti puisi—yang tidak hanya dibaca, tetapi dirasakan.
Buku ini seringkali membuat pembaca berhenti sejenak, mengulang kalimat, mencerna maknanya. Ini menjadi kekuatan karena membawa pembaca pada perenungan mendalam, seolah diajak berdialog secara batiniah. Ini juga membuat buku ini bisa dibaca berulang kali dan tetap memberi kesan baru.
π Ide yang Unik dan Berani
Menghadirkan tokoh utama "Tuan Setan" yang galau dan bingung dengan dirinya sendiri, bahkan mempertanyakan takdir dan makna keberadaannya, adalah pendekatan yang sangat tidak lazim. Biasanya dalam karya sastra atau religi, setan digambarkan sebagai antagonis murni. Tapi dalam buku ini, ia justru muncul sebagai sosok yang ambigu dan reflektif.
Penulis berani menyentuh tema-tema "berbahaya"—Tuhan, ibadah, penciptaan, iman—dengan sudut pandang yang tidak konvensional. Ini membuat buku terasa sangat segar dan menantang pikiran pembaca yang terbiasa dengan narasi hitam-putih.
π Penuh Kutipan yang Menampar dan Membekas
Salah satu kekuatan utama buku ini adalah kekayaan kutipan yang quotable dan menggugah. Banyak kalimat yang bisa diangkat sebagai bahan refleksi harian, caption media sosial, atau bahkan diskusi filsafat.
Contohnya:
“Kau bilang mencari Tuhan. Tapi bahkan dirimu sendiri belum benar-benar kau kenal.”
“Hidupmu tidak akan ditentukan oleh keramaian, begitu kata Soren Kierkegard. Jangan membuat pilihan berdasarkan pilihan banyak orang, buatlah pilihan berdasarkan kata hatimu, berdasarkan akal pikiranmu.”
“Kau tahu, aku bernegosiasi untuk mendapatkannya. Maka hidupku, setiap detiknya, adalah hak yang diberikan Tuhan dan aku boleh menggunakannya sesuka hatiku. Sementara hidupmu, setiap detiknya, hanya hadiah! Tuan Setan tertawa di ujung kalimatnya.”
“Kita bisa membuang ingatan, tapi kita tak bisa menolak kenangan. Sebab tak semua yang kita ingat akan kita kenang, tetapi semua yang kita kenang tersimpan baik dalam ingatan.”
“Kesempurnaan adalah ketiadaan sekaligus keberadaan, kebahagiaan sekaligus kesedihan, hitam sekaligus putih. Kesempurnaan adalah konfigurasi apik dari berbagai hal yang berlawanan.”
π Menggugah Pembaca untuk Bertanya, Bukan Menghakimi
Buku ini tidak memaksa pembaca untuk percaya pada satu kebenaran. Sebaliknya, ia mengajak pembaca berpikir, merenung, mempertanyakan hal-hal yang mungkin selama ini diterima begitu saja.
Itulah kenapa buku ini terasa menyenangkan dibaca bagi mereka yang sedang berada di titik "transisi spiritual", atau sedang galau akan makna hidup. Tidak ada jawaban yang final di sini—yang ada adalah keberanian untuk bertanya dan menyadari bahwa pencarian itu sendiri adalah proses spiritual.
π Singkat tapi Padat
Dengan ketebalan hanya sekitar 160-an halaman, buku ini terasa sangat efisien. Tidak bertele-tele, tidak ada sub-plot yang melenceng, dan tiap bab punya "gigi" tersendiri. Ini menjadikannya cocok bagi pembaca yang mungkin tidak punya banyak waktu, tetapi ingin bacaan yang berdampak.
Kekurangan Buku Yang Galau Yang Meracau
πTidak Cocok untuk Semua Pembaca
Ini bukan jenis buku yang bisa dibaca dengan santai sambil tiduran atau menunggu kendaraan umum. Jika kamu mencari bacaan yang menghibur, ringan, atau penuh aksi, kamu akan merasa tersesat.
Buku ini lebih cocok dibaca oleh mereka yang suka konten kontemplatif, spiritual, atau filosofis. Maka dari itu, bisa jadi buku ini "menyiksa" pembaca yang belum terbiasa dengan refleksi batin atau yang butuh alur cerita yang jelas dan dramatis.
π Beberapa Bagian Terlalu Mengawang
Karena banyak menggunakan metafora dan narasi yang bersifat puisi bebas, beberapa bagian terasa mengambang, tanpa pijakan atau arah yang jelas. Ini bisa membuat pembaca merasa kehilangan konteks.
Misalnya, terkadang kita tidak tahu apakah ini curhat si Setan, refleksi Rayya, atau pemikiran narator. Struktur yang cair seperti ini bisa membuat bingung, terutama bagi pembaca yang terbiasa dengan struktur linear dan tokoh yang jelas.
π Minimnya Plot atau Alur Cerita
Sebagai karya sastra yang bersifat dialog dan reflektif, buku ini hampir tidak memiliki konflik dramatik yang berkembang. Tidak ada awal-tengah-akhir yang jelas. Lebih terasa seperti kumpulan monolog atau surat terbuka yang disusun bersambung.
Hal ini bisa jadi kelemahan bagi pembaca yang butuh "gerakan" atau progres cerita. Namun, bagi pembaca yang mengapresiasi kedalaman isi ketimbang ketegangan cerita, ini bisa diterima.
π Beberapa Gagasan Terlalu Kabur atau Tidak Tuntas
Buku ini menyentuh banyak tema besar: Tuhan, penciptaan, ibadah, iblis, kesepian, cinta. Namun karena gaya penulisannya yang padat dan metaforis, tidak semua tema dibahas secara mendalam atau dituntaskan.
Akan lebih menarik jika ada beberapa gagasan yang dibongkar lebih jelas dengan konteks atau penjelasan, agar pembaca bisa memahaminya tanpa harus menebak-nebak terlalu lama.
***
Kelebihan dan kekurangan ini menunjukkan bahwa Yang Galau Yang Meracau adalah bacaan yang sangat personal. Bagi sebagian orang, ini bisa jadi buku yang mengubah cara pandang mereka terhadap spiritualitas dan pencarian makna. Tapi bagi yang lain, mungkin akan terasa berat, membingungkan, atau terlalu gelap.
Namun satu hal pasti: buku ini tidak akan meninggalkan pembacanya dalam keadaan yang sama seperti sebelum membacanya.
Komentar
Posting Komentar