"Luka yang paling sulit disembuhkan adalah luka yang dianggap tak pernah ada."

Film ini tiba-tiba muncul tanpa banyak gembar-gembor—tapi diam-diam menampar dan menetap di hati. A Normal Woman judulnya. Saat saya menekan tombol “play” di Netflix, saya tidak menyangka akan bertemu dengan cerita yang begitu dekat, begitu manusiawi, dan begitu... jujur.

Film ini tidak menawarkan ledakan, komedi norak, atau romansa instan yang manis-manis pahit. Yang ditawarkan adalah kenyataan: tentang tubuh yang tidak sesuai standar masyarakat, tentang pernikahan yang harus bertahan di tengah badai psikis, dan tentang perempuan yang ingin tetap waras saat semua orang menyuruhnya “kuat”.

Film terbaru Netflix Indonesia, A Normal Woman, karya sutradara Lucky Kuswandi ini, bukan hanya tontonan melainkan cermin retak yang membuat kita menengok ke dalam diri. Dibintangi oleh Marissa Anita, Dion Wiyoko, dan Widyawati, film ini menelanjangi kehidupan seorang perempuan dari kelas sosial elite yang pelan-pelan dikikis oleh sesuatu yang tidak tampak: trauma, tekanan, dan kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri.

Cerita berpusat pada Milla (Marissa Anita), seorang sosialita kelas atas Jakarta. Ia punya rumah megah, suami ideal (Jonathan, diperankan oleh Dion Wiyoko), dan status sosial yang diimpikan banyak orang. Namun di balik gaun elegan dan senyum tenang, tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan: mimisan mendadak, kehilangan kontrol motorik, bahkan pengalaman halusinatif yang sulit dijelaskan. Alur cerita A Normal Woman tidak dibangun dengan ledakan peristiwa, melainkan dengan keretakan kecil yang terus merambat—seperti retakan di dinding yang tampak tak berbahaya, tapi pada akhirnya menghancurkan seluruh bangunan. Tsahhhh

Tentang penyakit kulit Milla. Setiap pemeriksaan medis menyatakan ia "sehat". Tapi semakin keras Milla berusaha tampak normal, semakin tubuhnya memberontak. Kondisi medis itu bukan penyakit biasa, melainkan metafora dari beban psikologis dan trauma tersembunyi. Film ini perlahan menggiring kita menyadari bahwa Milla tidak sedang menghadapi gangguan fisik, tetapi patah secara emosional akibat tekanan sosial, ekspektasi keluarga, dan hilangnya identitas diri.

Marissa Anita memberikan salah satu performa terbaik dalam kariernya. Ia tidak melontarkan dialog yang meluap-luap, tidak menangis dengan dramatis. Tapi justru di situlah letak kekuatannya—ia memerankan Milla lewat gestur yang tertahan, mata yang kosong, dan tubuh yang gelisah. Kita tidak hanya melihat Milla; kita merasakannya. Ia bermain bukan hanya dengan tubuh, tapi dengan jiwa. Dia tidak menangis histeris, tapi matanya cukup untuk menunjukkan kekacauan batin. Dan jujur, beberapa adegannya mengingatkan saya saat psoriasis saya parah di awal - awal dulu dan saya mulai bertanya:“Apa yang salah dalam diri saya?”

Sementara Dion Wiyoko sebagai suami yang baik tapi gagal membaca derita batin istrinya, tampil dengan intensitas lembut namun menyakitkan. Ia mencerminkan banyak karakter pria dalam kehidupan nyata: hadir secara fisik, namun absen secara emosional. Lalu ada Widyawati, sebagai ibu mertua Milla, adalah simbol generasi yang menuntut kesempurnaan perempuan dengan dalih "tradisi" dan "kesuksesan." Dialognya sedikit, namun pengaruh karakternya terasa seperti benang tak terlihat yang menjerat Milla.

Lalu, apa yang membuat A Normal Woman benar-benar istimewa dan melampaui film drama Indonesia lainnya? Yes selain cerita dan aktornya  yang memuat Istimewa lagi  adalah kualitas sinematografinya. Batara Goempar sebagai sinematografer, dan Teddy Setiawan sebagai production designer, berhasil menciptakan ruang visual yang berbicara sendiri. Kamera sering diam lama di satu titik, memperlihatkan Milla duduk sendiri di ruangan luas, namun terasa sempit. Warna-warna pastel dan pucat mendominasi, memperkuat kesan dingin dan kehilangan koneksi. Komposisi visual dirancang seperti lukisan surealis—setiap bingkai adalah metafora.

Ketimbang menjelaskan emosi lewat dialog, film ini menggunakan desain ruang, pencahayaan, dan gerakan kamera untuk memperlihatkan tekanan batin Milla. Ini adalah pendekatan visual yang sangat jarang ditemukan dalam film Indonesia, bahkan di ranah festival sekalipun. Serius saya belum nemu. Jarang sekali film Indonesia menggarap sinematografi dengan rasa seperti ini. Heart Break Motel hamper mirisepert ini tapi. Shot-shot dalam A Normal Woman terasa seperti puisi visual. Seperti Kamera yang sering berhenti lama di wajah Milla, menangkap perubahan mikroekspresi yang menandakan kesakitan, kerinduan, dan harapan. Tone warna film bermain di gradasi biru-abu yang menggambarkan keheningan dan kesendirian, dengan sesekali semburat cahaya kuning keemasan ketika harapan muncul.

Adegan hujan yang turun pelan di jendela, bayangan tubuh di cermin kamar mandi, atau tangan yang menekan luka di kulit—semua diambil dengan sangat puitis, seperti ingin berkata: “Lihat, ini juga indah, walau menyakitkan.” Soundtrack film ini tidak mendominasi, tapi hadir seperti bisikan. Kadang hening lebih banyak bicara.

***


Film ini mengingatkan bahwa menjadi normal itu bukan soal kulit yang mulus atau hidup yang lurus. Tapi soal menerima luka sebagai bagian dari diri, dan mencintai diri sendiri di tengah stigma yang melekat. Ini adalah film yang tidak akan membuatmu melompat kegirangan. Tapi akan membuatmu duduk lebih lama, menatap cermin, dan berkata pelan, “Aku juga ingin dicintai, dengan cara yang utuh.”

“Normal” dalam film ini bukanlah kondisi, tapi topeng sosial. Dan ketika Milla mulai bertanya: Apakah aku baik-baik saja?—itu bukan karena ia ingin sembuh, tapi karena ia ingin bebas. Dan mungkin, setelah menonton ini, kita pun akan mulai bertanya pada diri sendiri:

Apakah aku hidup sebagai diriku, atau hanya menjalani skenario yang ditulis orang lain

A Normal Woman bukan film untuk semua orang. Tapi ia adalah film yang tepat bagi mereka yang siap melihat luka sebagai bagian dari eksistensi, bukan kelemahan. Dengan sinematografi yang nyaris sempurna, akting yang subtil namun menghantam, serta tema yang sangat relevan—film ini berhasil menjadi salah satu tonggak baru dalam perfilman Indonesia. Sebuah karya yang pantas dibicarakan, dipelajari, dan direnungi.

Komentar