Review Film Tinggal Meninggal (2025) : Ketika Humor Gelap Jadi Cermin Kehidupan


Ada satu hal yang mungkin kita semua pernah rasakan: sepi. Kadang kesepian membuat orang melakukan hal-hal kecil, bahkan konyol, hanya demi diperhatikan. Nah, rasa itu yang jadi napas utama film Tinggal Meninggal, debut sutradara Kristo Immanuel, yang sejak awal berani berkata: “ini bukan film komedi yang biasa.”

Cerita berpusat pada Gema (Omara Esteghlal), pemuda kikuk yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian setelah ayahnya meninggal. Namun perhatian itu hanya sebentar. Saat sorotan mulai padam, Gema memilih jalan absurd: menciptakan kebohongan agar tetap terlihat penting. Dari sini, film mengajak kita tertawa—kadang kecut, kadang getir—sambil berkaca pada obsesi manusia akan validasi.

Sejujurnya, saya tidak menyangka film ini bisa mengeksekusi humor gelap sekuat itu. Kristo tidak bermain aman. Ia tahu bahwa penonton Indonesia sering nyaman dengan komedi ringan, tapi di sini justru diberi satir yang menusuk, dialog yang absurd tapi relevan, bahkan adegan yang membuat kita berpikir dua kali setelah tertawa.

Akting Omara Esteghlal pantas dipuji. Ia bukan sekadar lucu, tapi berhasil membuat Gema hidup: canggung, menyedihkan, sekaligus menggemaskan. Chemistry dengan Mawar de Jongh dan cast pendukung lain menambah lapisan emosi yang membuat film ini tidak terasa kering.

Visualnya juga bekerja dengan baik. Editingnya rapi, transisi mulus, dan ada beberapa metafora visual yang brilian—salah satunya penggambaran “ngengat di perut” alih-alih “butterfly in the stomach”. Detail kecil seperti ini justru memperkuat rasa getir sekaligus jenaka yang ingin disampaikan film.

Namun, saya harus jujur, tidak semua orang akan nyaman. Ada bagian humor yang terlalu absurd dan mungkin dianggap “cringe” oleh sebagian penonton. Ritme di tengah film juga sempat melambat, membuat tensi turun sebelum kembali naik menjelang akhir. Tapi justru di situlah letak kejujurannya: film ini tidak berusaha menyenangkan semua orang.

Akhirnya, Tinggal Meninggal berdiri sebagai film komedi getir yang berani, segar, dan penting untuk perfilman Indonesia. Ia tidak hanya mengundang tawa, tapi juga refleksi tentang betapa rapuhnya kita di hadapan rasa sepi.

Kalau kamu mencari hiburan ringan, mungkin ini bukan pilihan pertama. Tapi jika kamu siap menertawakan absurditas hidup sambil bercermin pada diri sendiri, film ini layak masuk daftar tonton.

Skor jujur saya: 8/10. Segar, berani, dan menampar dengan cara yang tidak semua film berani lakukan.

Komentar