Review Gowok (2025) : Eksplorasi Budaya dan Dilema Akurasi Historis

Dua hari yang lalu iseng nonton Gowok di Netflix. Ekspektasi awal sih penasaran sama tradisi "Kamasutra Jawa" ini—yang ternyata namanya juga dipakai buat nama daerah di Jogja (lucu juga ya!). Filmnya sendiri okay lah, tapi kalau disuruh kasih nilai, kayaknya enggak bisa kasih nilai sempurna. Kenapa? Simak nih rangkuman santainya.

1. Visual & Tone Gambar: Hangat dan Puitis, Tapi Ada 'Jeda'

Secara sinematografi, film ini patut diacungi jempol. Sutradara dan penata kamera (Satria Kurnianto) sukses banget menciptakan atmosfer Jawa klasik tahun 50-60an yang kental. Tone gambar yang dipakai itu cenderung soft-focus dan hangat, bikin adegan-adegan yang harusnya sensual jadi terasa lebih puitis dan elegan, bukan murahan atau vulgar.

Namun, di beberapa bagian, terutama ketika masuk ke konflik berat atau bagian yang lebih thriller, ada vibe yang agak enggak konsisten. Kayak, kenapa tiba-tiba film drama budaya ini berasa jadi film horor/thriller? Selain itu, ada catatan mengganggu soal efek visual (VFX) atau komputerisasi di beberapa adegan yang kualitasnya terasa kurang matang.

2. Soal Aktor dan Casting: Reza Again, Again!

Nah, ini nih yang paling gemes. Reza Rahadian muncul lagi! Sebagai penonton, kita capek juga, "kok dia lagi dia lagi?" Padahal, film ini punya jajaran pemain yang keren banget, kayak comeback-nya Lola Amaria dan akting Raihaanun yang memukau. Intinya, casting aktor utamanya memang kuat, tapi buat sebagian penonton, kehadiran Reza Rahadian ini jadi terasa repetitif banget. Tapi jujur memang aktingnya selalu keren sih.

3. Plot dan Narasi: Terlalu Ambisius, Jadi Pecah!

Film ini tadinya mau mengenalkan tradisi Gowok—pendidikan seksual Jawa untuk para pemuda priyayi. Bagian awal yang fokus ke tradisi dan chemistry cinta beda kasta antara Ratri muda dan Kamanjaya muda cukup solid dan menyentuh.

Masalahnya dimulai di tengah ke belakang. Film ini terlalu ambisius memasukkan semua hal:

πŸŽ₯ Tradisi Gowok itu sendiri.
πŸŽ₯ Kisah dendam Ratri yang dikhianati.
πŸŽ₯ Sejarah politik Indonesia tahun 1965.
πŸŽ₯ Isu emansipasi perempuan (lewat Gerwani).

Akibatnya, alur cerita jadi terasa gagal fokus dan too much! Penulis naskah ingin menggabungkan romansa, thriller, sejarah, dan feminisme dalam satu wadah, tapi sayangnya malah bikin ceritanya jadi pecah. Porsi konflik utamanya, yaitu balas dendam Ratri, justru jadi berebut panggung dengan latar belakang politik 1965 yang diceritakan secara buru-buru.

4. Anakronisme dan Isu Budaya 

Ini yang bikin anak sejarah kayak yang nulis review awal itu gatal. Film ini mencampuradukkan narasi kehidupan priyayi abad ke-19 dengan konteks politik abad ke-20 (1960-an). Hal ini menciptakan keganjilan serius karena konteks sosial politiknya jadi salah.

Poin penutup film yang bilang tradisi Gowok lenyap setelah G30S/PKI karena munculnya Islam dan modernitas juga bermasalah. Kesannya kayak ada pertentangan keras antara budaya "Jawa" vs "Islam" yang berkoalisi dengan modernitas, padahal dalam sejarah budaya Nusantara, dua hal ini seringkali berakulturasi.

***

Gowok itu film yang berani karena mengangkat topik yang tabu dan penting (sexual education versi budaya Jawa) dengan visual yang puitis. Sayangnya, plotnya terlalu padat dan enggak fokus. Buat yang mau nonton, siap-siap terpukau sama sinematografi yang cantik, tapi juga harus tutup mata sedikit pada plot hole dan beberapa kesalahan konteks sejarahnya. Overall, worth ditonton buat tahu ada tradisi Gowok, tapi jangan berharap narasi sejarahnya akurat 100%.

Komentar