pada tanggal
Film Indonesia
Review Film
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
[Disclaimer : Review ini akan mengandung spoiler]
Sebagai film yang sudah lama ditunggu, Frankenstein (2025) memberikan pendekatan baru yang lebih manusiawi. Del Toro tidak hanya menghidupkan kisah ikonik ini, tetapi juga mengupas sisi emosional yang jarang disentuh dalam adaptasi sebelumnya.
Salah satu hal paling penting dalam film ini adalah bagaimana Del Toro mengembalikan identitas cerita. Di sini ditegaskan lagi bahwa Frankenstein adalah nama si ilmuwan—Victor Frankenstein—bukan makhluknya. Makhluk itu lahir tanpa nama, tanpa identitas, dan sejak momen pertama ia membuka mata, dunia sudah menolaknya. Pendekatan ini membuat film terasa lebih intim dan relevan, karena penonton diajak mempertanyakan ulang siapa sebenarnya “monster” dalam cerita ini.
Film Frankenstein (2025) menyoroti hubungan Victor
dengan ciptaannya sebagai metafora hubungan orang tua dan anak—yang sering
retak bukan karena kebencian, tapi karena ketidaksiapan.
Del Toro menghadirkan masa kecil Victor yang keras sebagai
akar masalah, sekaligus cerminan bagaimana luka yang tidak pernah diselesaikan
bisa diwariskan tanpa sengaja. Adegan ketika Victor memperlihatkan matahari
pada makhluknya, lalu mengurungnya kembali dalam gelap, menjadi salah satu
momen paling menyayat hati di film ini.
Pendekatan tema parenting, penelantaran emosional, dan kebutuhan dasar untuk diterima membuat film ini lebih dalam dari sekadar adaptasi monster klasik.
Jacob Elordi tampil sangat kuat sebagai makhluk ciptaan Victor. Hampir tanpa dialog, ia menyampaikan rasa takut, bingung, kesepian, dan harapan hanya lewat bahasa tubuh dan tatapan. Sorot matanya menjadikan film ini jauh lebih emosional. Tidak berlebihan jika disebut bahwa Elordi memberikan salah satu penampilan terbaik dalam kariernya di sini.
Secara visual, Frankenstein (2025) menawarkan pengalaman sinematik yang menawan. Del Toro meramu pencahayaan kontras, nuansa gelap-terang ala lukisan Baroque, dan palet warna yang hangat namun melankolis. Setiap adegan terasa seperti karya seni. Visualnya bukan hanya elemen pendukung, tetapi juga bahasa emosional yang memperdalam cerita.
Del Toro memilih untuk mengubah beberapa elemen dari cerita
klasik. Dalam film ini, Elizabeth digambarkan sebagai karakter yang melihat
sisi kemanusiaan dalam diri makhluk tersebut. Pilihan ini memberi warna baru
pada cerita dan menghindari pola tragedi yang berulang.
Momen paling emosional hadir menjelang akhir, ketika Victor
akhirnya meminta maaf pada makhluk yang ia ciptakan. Dan makhluk itu…
memaafkannya. Ending yang sederhana, tapi justru terasa paling manusiawi.
Shot terakhir—makhluk berjalan perlahan menuju matahari—menjadi simbol bahwa setiap luka, sekecil apa pun, tetap punya kesempatan untuk sembuh.
Film ini lebih terasa seperti drama psikologis yang dibungkus elemen monster. Ia berbicara tentang penolakan, rasa kehilangan, dan kebutuhan sederhana untuk dicintai. Bagi penggemar sinematografi, akting mendalam, dan cerita yang punya hati, Frankenstein (2025) adalah salah satu film yang tidak boleh dilewatkan.
Komentar
Posting Komentar