Review Frankenstein (2025): Adaptasi Terbaik yang Mengubah Monster Menjadi Manusia

[Disclaimer : Review ini akan mengandung spoiler]


Frankenstein (2025)
karya Guillermo del Toro hadir sebagai salah satu film paling emosional tahun ini. Bukan sekadar horor klasik atau cerita eksperimen yang gagal, film ini membawa kita kembali pada inti dari novel Mary Shelley: kisah tentang penciptaan, penolakan, dan luka yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sebagai film yang sudah lama ditunggu, Frankenstein (2025) memberikan pendekatan baru yang lebih manusiawi. Del Toro tidak hanya menghidupkan kisah ikonik ini, tetapi juga mengupas sisi emosional yang jarang disentuh dalam adaptasi sebelumnya.

Tema Parenting yang Kuat dan Menghantam Emosi

Salah satu hal paling penting dalam film ini adalah bagaimana Del Toro mengembalikan identitas cerita. Di sini ditegaskan lagi bahwa Frankenstein adalah nama si ilmuwan—Victor Frankenstein—bukan makhluknya. Makhluk itu lahir tanpa nama, tanpa identitas, dan sejak momen pertama ia membuka mata, dunia sudah menolaknya. Pendekatan ini membuat film terasa lebih intim dan relevan, karena penonton diajak mempertanyakan ulang siapa sebenarnya “monster” dalam cerita ini.

Film Frankenstein (2025) menyoroti hubungan Victor dengan ciptaannya sebagai metafora hubungan orang tua dan anak—yang sering retak bukan karena kebencian, tapi karena ketidaksiapan.

Del Toro menghadirkan masa kecil Victor yang keras sebagai akar masalah, sekaligus cerminan bagaimana luka yang tidak pernah diselesaikan bisa diwariskan tanpa sengaja. Adegan ketika Victor memperlihatkan matahari pada makhluknya, lalu mengurungnya kembali dalam gelap, menjadi salah satu momen paling menyayat hati di film ini.

Pendekatan tema parenting, penelantaran emosional, dan kebutuhan dasar untuk diterima membuat film ini lebih dalam dari sekadar adaptasi monster klasik.


Akting Jacob Elordi yang Tenang Tapi Mendalam & Visual Puitis ala Guillermo del Toro

Jacob Elordi tampil sangat kuat sebagai makhluk ciptaan Victor. Hampir tanpa dialog, ia menyampaikan rasa takut, bingung, kesepian, dan harapan hanya lewat bahasa tubuh dan tatapan. Sorot matanya menjadikan film ini jauh lebih emosional. Tidak berlebihan jika disebut bahwa Elordi memberikan salah satu penampilan terbaik dalam kariernya di sini.

Secara visual, Frankenstein (2025) menawarkan pengalaman sinematik yang menawan. Del Toro meramu pencahayaan kontras, nuansa gelap-terang ala lukisan Baroque, dan palet warna yang hangat namun melankolis. Setiap adegan terasa seperti karya seni. Visualnya bukan hanya elemen pendukung, tetapi juga bahasa emosional yang memperdalam cerita.

Plot Twist dan Ending yang Lebih Manusiawi

Del Toro memilih untuk mengubah beberapa elemen dari cerita klasik. Dalam film ini, Elizabeth digambarkan sebagai karakter yang melihat sisi kemanusiaan dalam diri makhluk tersebut. Pilihan ini memberi warna baru pada cerita dan menghindari pola tragedi yang berulang.

Momen paling emosional hadir menjelang akhir, ketika Victor akhirnya meminta maaf pada makhluk yang ia ciptakan. Dan makhluk itu… memaafkannya. Ending yang sederhana, tapi justru terasa paling manusiawi.

Shot terakhir—makhluk berjalan perlahan menuju matahari—menjadi simbol bahwa setiap luka, sekecil apa pun, tetap punya kesempatan untuk sembuh.

Apakah Frankenstein (2025) Layak Ditonton?

Jawabannya: wow! sangat layak banget!
Bahkan untuk kamu yang bukan penggemar genre horor sekalipun.

Film ini lebih terasa seperti drama psikologis yang dibungkus elemen monster. Ia berbicara tentang penolakan, rasa kehilangan, dan kebutuhan sederhana untuk dicintai. Bagi penggemar sinematografi, akting mendalam, dan cerita yang punya hati, Frankenstein (2025) adalah salah satu film yang tidak boleh dilewatkan.

Skor: 9.5/10

Indah, emosional, dan penuh makna.
Sebuah adaptasi yang bukan hanya setia pada semangat novel, tetapi juga membawa kedalaman baru yang relevan untuk penonton masa kini.





Komentar